Pages

TV ONLINE

CARA PASANG TV

12 Februari, 2011

ARSITEKTUR

HENRI MACLAINE PONT


 HENRI MACLAINE PONT

A. Biografi1
“Arsitektur….adalah bagian dari kegiatan manusia dalam menciptakan sesuatu untuk dirinya agar keluar dan menundukkan alam”
Filsafat arsitektur yang selalu dipegang dari awal sampai akhir hidup seorang Pont yang lahir pada bulan Juni 1885 di daerah Meester Cornelis atau sekarang bernama Jatinegara bagian dari Kota Jakarta. Seperti pada banyak keluarga Belanda pada masa itu, Henry Maclaine Pont mewarisi budaya campuran. Beberapa anggota keluarganya tinggal di “Neederlandsch Indie” sampai berakhirnya masa kolonial Belanda di Indonesia (1942). Empat generasi dari pihak nenek ibunya adalah adalah orang pribumi berdarah Bugis dan nenek moyangnya datang pertama kali ke Indonesia, pada masa VOC. Atas saran ayahnya, pada tahun 1902 ia masuk Technische Hoogeschool de Delft, sebuah sekolah tinggi teknik paling terkemuka di Belanda. Mulanya ia mengambil jurusan pertambangantapi kemudian ia memutuskan untuk pindah ke arsitektur. Dari jurusan inilah, Maclaine Pont nantinya menjadi salah seorang arsitek terkemuka dalam perkembangan arsitektur Belanda.
Dilihat dari hasil karya-karyanya, Maclaine Pont tidak terpengaruh pada bentuk-bentuk kubis, garis-garis dan bidang-bidang vertikal atau lainnya dari aliran purism yang melanda dunia seni termasuk arsitektur pada waktu itu. Maclaine Pont secara konsisten menekankan pendekatan terhadap budaya dan alam di mana ia membangun. Penekanannya selain kepada kesatuan antara bentuk dan fungsi, juga pada kesatuan dengan konstruksi, sebagai perwujudan dari tradisi dalam hubungannya dengan arsitektur.
Setelah menyelesaikan studi arsitekturnya, sebelum kembali ke Indonesia, antara tahun 1909 sampai dengan 1911 Maclaine Pont bekerja pada Kantor Postmus Meyes di Amsterdam. Proyek pertamanya dimana ia intensif terlibat, adalah sebuah rumah sakit untuk para diaken (pembantu Gereja) di Overtoom Amsterdam. Proyeknya yang kedua adalah Prins Alexander Stiching, sebuah institusi untuk para tuna netra di Huis ter Heide.
Karena dorongan ibunya, ia kembali ke Indonesia. Ia tiba di Tegal, sebuah kota di Pantai Utara Jawa Tengah, antara Cirebon dan Semarang, pada awal tahun 1911. Iklim, sinar matahari dan gaya hidup masyarakat setempat selalu menjadi perhatian utama sepanjang hidupnya. Hal ini diterapkannya dalam karyanya NIS (Nederlandsche-Indische Spoorweg Maatschappij), Perusahaan Kereta Api Belanda di Tegal.
Pada pertengahan tahun 1913, Maclaine Pont pindah ke Semarang. Ia memantapkan kantornya dan sibuk dengan proyek-proyeknya seperti misalnya bangunan-bangunan perkeretaapian di Purwokerto, gudang-gudang untuk gula di Cirebon, Cilacap, kantor-kantor di Tegal. Selain merancang bangunan, Maclaine Pont juga membuat rencana pengembangan perkotaan di Semarang Selatan dan di Surabaya.
Pada pertengahan Tahun 1915, Maclaine Pont sakit, bersama isterinya kembali ke Belanda. Setelah sembuh ia bekerja pada kantor kereta api di Utrecht. Karena tidak berpikir lagi untuk kembali ke Indonesia, pada tahun 1918 bironya di Semarang dijualnya kepada kawan-kawannya. Tetapi di luar rencana pada tahun itu juga ia diundang untuk merancang Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Pada tahun 1924, ia diminta untuk menjadi penasehat perusahaan kereta api di Jawa Timur dalam membangun perumahan karyawan. Tiga bulan tinggal di Surabaya sehubungan dengan proyek tersebut, memberikan kesempatan untuk meneliti reruntuhan Kerajaan Majapahit di dekat Trowulan. Ia makin tertarik dalam penelitian tentang arkeologi, dan melihat adanya masalah untuk diteliti secara lebih mendalam dan sungguh-sungguh. Untuk itu pada Bulan September 1924, ia pindah ke Trowulan dan sampai dengan tahun 1943 dengan hanya sedikit interupsi ia mengadakan penelitian arkeologi. Dalam periode ini Maclaine Pont banyak menulis berbagai masalah tentang arsitektur tropis. Ia mengemukakan pula tentang pentingnya menjaga kelestarian bangunan-bangunan lokal, perencanaan kota, bahkan juga tentang kesehatan masyarakat yaitu pest control. Pada tahun-tahun itu, pekerjaan arsitekturnya banyak berkaitan dengan penelitiannya yaitu antara lain membangun museum untuk menampung benda-benda peninggalan sejarah.
Pada tahun 1936, Maclaine Pont diminta oleh Pastor G.H. Wolters untuk membangun sebuah gereja di Pohsarang, sebuah desa beberapa kilometer di sebelah timur Kediri, Jawa Timur, di mana agama Katholik berkembang pesat di sana.
Dalam karyanya Museum Trowulan maupun Gereja Pohsarang selalu menggunakan bahan-bahan lokal. Maclaine Pont juga menggunakan buruh-buruh setempat selain beberapa tukang yang sudah berpengalaman pada saat membangun museum.

B. Pemikiran-pemikiran dan Konsep Maclaine Pont2
Henri Maclaine Pont merupakan salah seorang arsitek yang “Independent dalam menentukan prinsip-prinsipnya pada perancangan suatu bangunan. Tidak seperti arsitek-arsitek pada zamannya yang kebanyakan selalu mengikuti arus ‘aliran’ di bidang arsitektur yang sedang ‘in’ pada waktu itu. Henri Maclaine Pont berusaha membuka celah-celah baru dalam bidang arsitektur dengan berusaha mencerminkan sikap “kebersahajaan” dan ternyata tak pernah lapuk dimakan usia.
Dalam prinsip perancangannya ia mencoba memadukan kekuatan-kekuatan lokal berupa arsitektur, budaya, masyarakat dan alam; dimana tidak sedikit arsitek yang sering meninggalkan point ini pada bangunan yang dirancangnya. Jarang sekali kita menemui suatu karya arsitektur yang dapat mewakili ciri khas budaya dan sosial daerah masing-masing, serta mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh lingkungan di sekitarnya. Dengan teori-teorinya, Henri Maclaine Pont berusaha untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada.
Dalam membangun suatu bangunan, Henri M.P, memegang teguh beberapa filsafat arsitektur. Ia menginginkan agar keberadaan bangunannya dapat menjadi bagian dari lingkungan sekitar bangunan tersebut. Ia sangat memperhatikan tentang iklim dan masyarakat sekitar bangunannya. Ia juga memperhatikan adat istiadat dan kepercayaan masyarakat setempat. Maclaine Pont lebih suka menggunakan bahan lokal dalam pembangunan karyanya dan juga penggunaan buruh lokal. Selain bahan lokal lebih murah daripada bahan import, bahan lokal juga banyak tersedia sehingga tidak mungkin kekurangan. Ia juga selalu menggunakan buruh lokal dalam pembangunan karyanya sehingga dapat menjadi latihan bagi ketrampilan masyarakat sekitar.
Secara keseluruhan, teori-teori yang dikemukakan oleh Henri Maclaine Pont mencoba untuk tetap “komunikatif” dengan lingkungan sekitarnya tanpa meninggalkan aspek fungsi dari bangunan tersebut. Hal ini tercermin dalam karya-karyanya yang sampai saat ini masih dapat kita nimati eksistensinya.
Henri Maclaine Pont secara konsisten menekankan pendekatan terhadap budaya dan alam dimana ia membangun. Filsafat arsitekturnya yang selalu dipegang teguh dari awal sampai akhir hidupnya:
“Arsitektur….. Adalah bagian dari kegiatan manusia dalam menciptakan sesuatu untuk dirinya agar keluar dan menundukkan alam.”

 Teori Henri M.P.
Kaidah arsitektur (teori) yang pernah dicetuskan/tampil pada karya-karyanya adalah sebagai berikut :
1. Pendekatan pada faktor budaya dan alam dimana ia membangun sehingga karya arsitektural merupakan jawaban dari kebutuhan sosial.
2. Pada setiap karya arsitektural harus dapat tercermin adanya hubungan yang logis antara bangunan dengan lingkungannya.
3. Menggali akar budaya arsitektur klasik, dikaji dan kemudian dipadukan dengan arsitektur modern.


 Falsafah
Adaptasi Regionalisme
Yaitu adanya dialog antara tradisional dan modern. Struktur bangunan dapat berkembang mengikuti teknik dan metode baru, namun ungkapan arsitektural tetap dalam semangat tempat dan budaya lokal.

 Prinsip-prinsip yang dianutnya
 Dalam segi bentuk, Henri M.P. tidak terpengaruh pada bentuk-bentuk kubis, garis-garis dan bidang vertikal atau lainnya dari aliran “purism” yang melanda dunia seni dan arsitektur pada waktu itu.
 Henri M.P. selau memberikan penekanan pada kesatuan antara bentuk, fungsi dan konstruksi. Sebagai ungkapan spiritual dari suatu kelompok masyarakat, maka gaya arsitektur harus mempunyai jawaban dari kebutuhan sosial masyarakat tersebut.
 Menurut pandangannya adalah penting dalam arsitektur adanya hubungan logis antara bangunan dengan lingkungannya. Ia menyadari bahwa lingkungan secara keseluruhan menjadi bagian yang menyatu dengan bangunan sehingga dalam merancang, Henri M.P. selalu memperhatikan adat dan budaya setempat.
 Dalam bidang konstruksi, Henri M.P. tidak seperti arsitek-arsitek Eropa pada umumnya yang selalu menggunakan bahan material impor. Ia senantiasa berusaha menggunakan bahan lokal pada konstruksi bangunan yang dirancang.





KONTEKSTUALISME PEI



KONTEKSTUALISME PEI
Sejak awal karirnya telah tampak bahwa Pei memiliki kemampuan merancang bangunan yang cocok dengan lingkungannya (Architecture Contekstualism). Kemampuan Pei untuk memadukan konsep-konsep bangunan modern dengan nilai-nilai tradisional Cina dapat ditemui pada awal karya-karya pribadinya, seperti Henry Luce Chapel (1963), maupun pada Universitas Taunghai, di Taida, Taiwan. Penggunaan batu bata, atap melancip dengan genting berwarna tembaga yang merupakan ciri asli arsitektur Cina tampak jelas pada proyeknya itu.
Kemampuan untuk memadu konsep-konsep arsitektur modern dengan arsitektur tradisional yang paling berkesan bagi Pei yakni Fragant Hill Hotel di Beijing, Cina. Hotel yang dibuka bulan Oktober 1982 itu merupakan perpaduan detail-detail Cina dan barat yang sangat mencolok. Bangunannya rendah dengan atap mendatar. Dinding putihnya sedikit dihiasi ubin tradisional yang dirangkai dalam bentuk intan, dan dengan jendela berbentuk buah plum yang diilhami dari rumah pedagang-pedagang besar di Suzhou, kota tempat Pei menghabiskan masa kecilnya. Dari bagian dalam bangunan, jendela-jendela tampak menyerupai bingkai pemandangan alam di luar yang dapat memberi penegasan adanya jalinan hubungan kuno seni lukis dengan arsitektur.
Tata ruang dalam terdiri atas besi megah, atrium kaca dan sejumlah kecil courtyard, halaman gedung dikelilingitembok seperti yang terdapat pada rumah-rumah pedagang besar di Suzhou. Setiap kamar tamu memberikan pemandangan ke halaman tengah yang merupakan perpanjangan tata ruang dalam dengan bagian luar. Atas kemampuannya itu, Pei sempat memperoleh pujian dari ahli pertamanan Cina yang datang pada saat pembukaan hotel.
Jika Fragant Hill Hotel membuktikan perhatian Pei pada tradisi tanah airnya, lain halnya dengan Bank of China (1987), Hongkong yang menunjukkan komitmennya terhadap modernisasi dan penguasaan teknologi. Bank of China menjulang tinggi seolah sebuah batang bambu raksasa di daerah pelabuhan Hongkong. Penggunaan besi-besi inovasi dan kerangka kaca yang merupakan ekspresi murni dan halus teknologi mutakhir pencakar langit, langsung mengingatkan kepada simbol kemakmuran tradisi-tradisi Cina.
Sebagaimana layaknya bangunan pencakar langit, Bank of China juga menghadapi masalah, pergumulan antara segi estetika dan keterbatasan dana. Semakin tinggi bangunan, semakin banyak material yang digunakan dan semakin besar biayanya. Jalan keluar yang ditempuh Pei, dari segi arsitektur, bersifat sangat revolusioner. Ia mengetahui bahwa bangunan tinggi akan membutuhkan biaya besar. Oleh karena itu, untuk mengurangi lonjakan biaya, Pei memutuskan untuk menerapkan konstruksi bangunan berstruktur ruang tiga dimensi. Selain mengurangi tekanan biaya baja sebanyak 30%, yang berarti mengurangi pula pemakaian material baja, konsep ini juga dapat memperpanjang daya tahan konstruksi bangunan.



I . M . P E I


I . M . P E I    A R S I T E K     D U A     D U N I A



BIOGRAFI
Ieoh-Ming Pei dilahirkan di Kanton, Cina, pada tanggal 26 April 1917. sebelum berimigrasi ke Amerika Serikat, ia meneruskan pendidikannya di Shanghai. Kemampuannya berbahasa Inggris, modal besar keberhasilannya kelak diperoleh ketika Pei bersekolah di sekolah menengah Saint John, sebuah lembaga Presbyterian. Sebenarnya, keluarga Pei mengharapkan ia berkarier di bidang kedokteran atau teknik.
Ketika berusia lima belas tahun, Pei lebih memusatkan perhatiannya pada permainan billiar. Di sela-sela permainan tersebut, Pei sering mengamati pembangunan Hotel Park berlantai 24 yang terletak bersebelahan dengan gedung billiar. Pembangunan hotel bertingkat di atas tanah yang berkondisi labil di kota Shanghai, membuat Pei muda sangat terkesan. Seketika itu juga, Pei merasa ditantang oleh petualangan dunia arsitektur.
Pada usia 17 tahun, Pei berangkat ke Amerika Serikat untuk meneruskan pendidikannya di sekolah arsitektur pada Universitas Pennsylvania. Di Universitas ini, Pei agak tertekan karena kurikulum di sekolah tersebut lebih menekankan pada kemahiran menggambar dan studi sejarah arsitektur, sedangkan Pei menyadari keterbatasannya dalam ketrampilan menggambar. Inilah yang menyebabkan Pei memutuskan untuk hijrah ke Massachussetts Institute of Technology (MIT). Pei berhasil meraih gelar sarjana muda arsitekturnya dari MIT pada tahun 1940, tepat pada saat perang dunia II menghentikan berbagai pembangunan di setiap tempat. Dalam situasi tanpa pekerjaan dan prospek tak menentu, Pei melanjutkan studinya di Harvard Graduate School of Design. Pada tahun 1946 di bawah pengawasan Walter Gropius, seorang pakar arsitek modern, Pei berhasil memperoleh gelar sarjana arsitekturnya.
Di masa perang, Pei pernah bekerja pada US National Defence Research Commitee. Kesempatan akhirnya datang di tahun 1948, ketika developer ternama di kota New York, William Zeckendorf, mengajaknya bergabung dalam perusahaan real estatenya yang berskala internasional, Webb & Knapp, sebagai arsitek direktur. Sejak itu Pei terbang menjelajahi pesisir satu ke pesisir lain.
Di tahun 1960, Pei meninggalkan Webb & Knapp untuk memulai perusahaannya sendiri, I.M. Pei & Partners. Keberhasilannya membangun berbagai proyek, I.M. Pei & Partners menjadi terkenal melalui gedung-gedung modern yang dibangunnya dengan keahlian yang cermat. Akhirnya pada tahun 1968, perusahaan milik Pei berhasil memenangkan penghargaan American Institute of Architects untuk kategori perusahaan.
Nama I.M. Pei & Partners sempat pula memenuhi halaman muka surat kabar-surat kabar dunia. Pada tahun 1964, Jacqueline, janda mendiang Presiden John F. Kennedy, memilihnya untuk mendesain The John F. Kennedy Library di Boston. Kesempatan ini merupakan saat yang menentukan dalam karirnya. Pemilihan itu telah merubah dirinya dari a nobody menjadi I’architect du roi (arsitek termasyur).
 



CARA PANDANG BERBUDAYA & BERARSITEKTUR


FILOSOFI – CARA PANDANG – SIKAP HIDUP
1. Pohon adalah lambang Semesta ada
2. Dengan sesuatu yang utuh dan teratur, tertanam enteleki yaitu suatu daya kekuatan dari dalam, yang bagaikan benih menuju ke kedewasaannya, dengan atau tanpa bantuan luar, yang meraih kepemenuhan tujuan dirinya (Aristoteles)
3. Sederhana dapat indah berwibawa, kemewahan dapat menjadi tanda-bukti rasa minder/ bodoh
4. pemakaian tenaga tukang asing yang berkelebihan menurunkan nilai budaya gedung itu dan sebenarnya tidak susila juga.
5. setiap karya seni adalah suatu dunia khas, yang dicipta sendiri oleh kedaulatan manusia, adalah gestaltete umwelt; lingkungan yang dibentuk.
6. memanglah yang penting bukanlah bangunan sebagai bangunan, tetapi mampukah kita menciptakan tata ruang, dimana homo ludens dapat merasa diri satu unit keluarga besar yang mudah bermain bersama?
7. dimensi estetik tentu saja tetap penting, tetapi itu bukan problem inti di Negara berkembang.
8. nilai budaya diartikan segala yang mengangkat manusia (menjadi) semakin manusiawi utuh.
9. kualitas seni membutuhkan situasi pengendapan tenang yang tidak terlalu diganggu oleh setiap perubahan gelombang baru.
10. semakin arsitek menjadi budak order, semakin martabat profesi arsitek merosot juga, dan semakin dilecehkan.
11. kita memang ingin berdoa di atas kebenaran, dihirup oleh kehampaan ruang terbuka yang hanya bisa menengadah ke langit, dibatasi pohon-pohon di sekitarnya.
12. yang penting, kita wajib berarsitektur, sejujur, dan sewajar mungkin.
13. ruangan barulah ruangan apabila memperoleh batas-batasnya.
14. semakin sederhana bentuknya semakin bertahan.
15. seluruh alam raya dan tempat mana pun di bumi adalah tempat yang sah dan suci untuk beribadat, karena tiada tempat satu pun di luar jangkauan Rahmat dan Berkat Tuhan.
16. ruangan bisa hidup oleh puisi pencahayaan.
17. seni terdapat dalam tiga unsure: dalam jiwa seniman, di dalam alat dan di dalam material yang berkat seni mendapatkan bentuknya (Dante)
18. ekspresi yang paling jelas adanya keserasian ialah kontras.
19. a thing of beuty is joy for ever (pepatah Inggris)
20. Estetis artinya penilaian sifat yang dianggap indah dari segi kenikmatan
21. kebudayaan datang dari manusia, ungkapan dirinya, baik dalam hal cara berpikir, cita rasa serta seleranya.
22. pulchrum splendor est veritatis (Thomas Aquinas)
23. indah merupakan kecerlangan dari kebenaran
24. apakah kita masih sanggup untuk menghayati keindahan yang terungkap oleh kesederhanaan bentuk masa lampau?
25. maka harapan kita ingin berbudaya dan berkepribadian secara benar kepada para arsitek Indonesia, ialah: sudilah jangan main imitasi doing.
26. kita berbahasa, melangkah, berarsitektur, agar kita semakin menyatakan dan menyempurnakan ada-diri kita, semakin manusiawi dan semakin manusiawi.
27. setiap usaha cendekiawan selalu mencari yang paling sederhana, bukan justru yang ruwet atau canggih.
28. tugas arsitek dan masyarakat Indonesia pun biasa juga; membentuk arsitektur yang biasa, namun dengan kualitas luar biasa.
29. kebenaran, kewajaran adalah sumber dari cahaya kehidupan





Paul Andreu Sang Perancang Bandara International Soekarno-Hatta


(by Sebastian)

Paul Andreu merupakan seorang arsitek berkebangsaan Perancis. Lahir pada tahun 1938, tepatnya di Cauderan, Bordeaux, Gironde, Perancis. Menjadi seorang arsitek setelah mengenyam pendidikan arsitek di Ecole Polytechnique dan Ecole Nationale Superieure des Pont di Chaussees, Perancis. Hingga saat ini ia bekerja di Aeroports de Paris (ADP) sebuah perusahaan yang bergerak dibidang transportasi udara milik Perancis. Selain merancang Bandara International Soekarno-Hatta, beliau juga merancang bandara internasional Perancis, Charles de Gaulle Airport dan Shanghai Pudong Airport di Shanghai, Cina. Malah pada saat ini beliau tengah mengerjakan sebuah proyek opera house, juga di Cina tepatnya di Beijing, Yaitu Beijing Opera.

KONSEP RANCANG
 Penelitian Paul Andreu atas tradisi bangunan lokal membuahkan pemahaman yang mendalam atas pengadaptasian adat-istiadat setempat pada kondisi daerah yang beriklim tropis. Pendekatan ini merupakan titik tolak yang radikal pada perancangan yang biasa dilakukan pada sebuah bandar udara kontemporer. Diputuskan bahwa para pendatang yang tiba di Jakarta akan langsung merasakan kekhasan sebuah tempat sejak masih berada di dalam Bandar udara melalui keterpaduan antara bangunan, alam, dan iklim Indonesia yang unik.
 Bangunan yang terletak di hamparan hijau itu merupakan anjungan-anjungan yang menyediakan keteduhan, naungan dan ventilasi. Bahkan dalam upaya mempertemukan tuntutan teknologi sebuah Bandar udara dengan administrasi dan pelayanan fungsional yang kompleks serta kebutuhan penumpang yang dating dan pergi tersebut, sang arsitek tetap melihat kedua terminalnya sebagai suatu pengenalan yang unik terhadap lansekap. Pendekatan yang dia lakukan tidak terbatas pada lingkungannya saja namun juga dengan mempertemukannya pada dimensi sosial dan budaya Jawa. Bandar udara ini dengan demikian menyediakan berbagai fasilitas dan anjungan bagi para pengunjung, untuk berkumpul atau berkontemplasi secara berkelompok maupun perorangan ini berbeda dari bandar udara manapun, yang lebih menekankan pergerakan sejumlah besar manusia secara efisien. Sasaran keunikan tersebut berhasil dicapai Bandar Udara Soekarno-Hatta dengan cara yang amat inovatif. Courtyard yang terbentuk dari beberapa anjungan diberi sentuhan lansekap yang ditanami berbagai pohon, semak dan tumbuhan daerah tropis.
Gagasan awal dari Paul Andreu untuk membukan anjungan-anjungan dan ruang sirkulasi selepas wilayah pemeriksaan penumpang ke alam lepas tercapai sepenuhnya di Terminal I. Pada Terminal II pihak pengelola bandar udara meminta pemasangan penghawaan buatan sehingga seluruh terminal harus dipasangi jendela tertutup yang mengakibatkan terputusnya hubungan langsung antara ruang luar dengan bangunan. Hambatan ini diatasi dengan membuat jendela berukuran besar sebagai bukaan visual yang meningkatkan pandangan ke wilayah lansekap. Taman-taman courtyard tersebut seperti lukisan dihadapan pengunjung, yang menggugah rasa atas lansekap alami di pulau Jawa.





MACLAINE POND & CERITA TENTANG POH SARANG

 


Maclaine Pont, Arsitek Puh Sarang lulusan Technische Hoogeschol di Delft ini dikenal sebagai salah satu arsitek kontroversial dari sekian banyak arsitek berkebangsaan Belanda di Indonesia yang berusaha merangkul iklim dan budaya masyarakat setempat. Lewat analisa ilmiahnya yang intensif ia mencoba menemukan identitas arsitektur Jawa ditinjau dari sudut pandang kaidah arsitektur "rasional" Barat, yang terekam dalam artikelnya "Javaansche Architectuur" pada tahun 1923. Ia menemukan bahwa bentuk dasar struktur arsitektur Jawa adalah struktur tenda, di mana beban atap ditopang langsung oleh tiang tanpa kuda-kuda, yang merupakan ciri atap Arsitektur Nusantara. Baginya, teknologi arsitektur tradisional layak dikategorikan ke dalam prinsip-prinsip arsitektur "modern". Itulah sebab terjadinya bentuk-bentuk unik pada bangunan gereja Puh Sarang ini.
Konsep Perancangan Gereja Puh Sarang
Perancangan Gereja Puh Sarang sangat kompromistis terhadap arsitektur lokal untuk mewadahi kegiatan "agama modern" yang belum lama dikenal oleh masyarakat waktu itu. Maka diciptakanlah konsep "kontekstual" untuk tujuan yang "baru", sehingga dapat menumbuhkan rasa kepemilikan (sense of belonging) umat terhadap gerejanya. Selain itu, bangunan ibadah itu sendiri dengan mudah berbaur dengan lingkungan sekitar untuk kemudian diakui sebagai milik bersama bagi warga sekitar. Dari bangunan Gereja Puh Sarang ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa arsitektur bukan sekedar bentuk dan fungsi sebagaimana dipercayai oleh para arsitek aliran modernisme. Bangunan seyogyanya berhubungan logis dengan lingkungan dan gaya hidup masyarakat setempat. Ilmu lokalitas inilah yang diterapkan dalam membangun gereja yang unik ini.



Desain Kontekstual Gereja Puh Sarang
Gereja Puh Sarang terdiri dari 5 massa bangunan yang terdiri dari 2 bangunan utama serta 3 bangunan yang lebih kecil. Atap dari bangunan utama tempat altar berada berupa kubah (cupola) tenda yang diilhami oleh bangunan jaman majapahit hasil rekaman pada relief candi-candi yang dipelajari Pont.

Altar dan dinding bangunan gereja penuh dengan relief hasil pahatan tangan manusia berbahan batu bata merah khas candi, yang masih dipertahankan sampai sekarang, dengan penambahan lapisan bahan pengawet untuk melindunginya dari kondisi cuaca lembab. Interiornya diolah dengan mengadopsi bentuk pura Bali dengan sistem pemasangan batu bata tradisional tanpa semen. Bata digosok sampai halus dengan campuran kapur, air, dan gula, sehingga bata saling menggigit tanpa adukan. Di sinilah letak persenyawaan antara desain Maclaine Pont dengan teknologi, bahan bangunan, kemampuan tukang lokal serta budaya setempat.
Bangunan pendapa, yang digunakan untuk menampung umat apabila daya tampung bangunan utama tidak mencukupi, menempel di bagian depan gereja. Umat duduk di lantai selama prosesi, yang merupakan perwujudan simbolisme dari sikap tubuh yang merendahkan diri. Ini pula kebiasaan duduk masyarakat Asia yang fleksibel memanfaatkan ruang tanpa perlu banyak perabot ruang. Bentuk atap pendapa ini mirip dengan atap bangunan Institut Teknologi Bandung yang juga dirancang oleh Maclaine Pont sebelumnya, dengan struktur tenda arsitektur Sunda Besar (arsitektur Nusantara) yang melambangkan bahtera Nuh. Sementara bangunan utama pusat berbentuk cupola menyimbolkan Gunung Ararat, tempat mendaratnya bahtera.
Perletakan massa gereja Puh Sarang mengadaptasi konsepsi kosmis Jawa yang berorientasi Utara - Selatan. Hal ini diterapkan mengingat Kediri pernah menjadi pusat kerajaan besar di tanah Jawa pada abad XII, juga riset Maclaine Pont mengenai arsitektur pada jaman Majapahit. Poros kompleks gereja diperkuat dengan penataan trap undak-undakan tanah, gerbang bergaya pura, serta penanaman pohon beringin di antara gereja dan gerbang. Bangunan tambahan berupa sepasang bangunan bujur sangkar di sisi kiri kanan muka kompleks, serta sebuah bangunan persegi panjang kecil di bagian Timur. Kompleks gereja Puh Sarang dikelilingi dengan dinding batu kali ekspos, memiliki pelataran berlapis batu alam serta taman yang dirancang bergaya khas Arsitektur Jawa / Bali. Demikian pula dengan menara lonceng yang disusun dari tumpukan batu menukik ke atas, sehingga berkesan alami dan membumi, seolah tumbuh dari dalam tanah. Suatu rekayasa bangunan untuk menghadirkan keselarasan antara karya budaya buatan tangan manusia dengan alamnya, dan sebaliknya perekayasaan lingkungan alami sedemikian rupa untuk bersimbiosis dengan arsitektur gereja.





MENGENAL SOSOK ARSITEK ROMO MANGUNWIJAYA



1. Siapakah Romo Mangun itu?

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau akrab disapa dengan Romo Mangun lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, 6 Mei 1929 dari pasangan Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan Serafin Kamdanijah. Beliau anak sulung dengan sebelas adik, tujuh di antaranya perempuan. Beliau wafat “dalam tugas” dan dikelilingi oleh para sahabatnya dalam suatu seminar di Jakarta,10 Februari 1999. Kemudian dimakamkan di makam Seminari Tinggi Kentungan, Jl. Kaliurang, Yogyakarta.

2. Bagaimanakah masa kecil Romo Mangun?

Lingkungan asrama dan bruderan, itulah yang telah dikenal sejak kecil oleh Bilyarta (atau Mas Ta, panggilan untuk si anak sulung ini), sedemikian rupa sehingga sikap disiplin dan tanggung jawab mulai bertumbuh dalam diri Mas Ta. Demikian kesaksian Ibu Hendrawasita, yang kini berdomisili di Gejayan Yogyakarta, mengenai Bilyarta waktu kecil. Ibu Hendra masih ingat bagaimana pada waktu itu, saat zaman sedang susah dan serba sulit, bersama sang kakak, ia diajak berkeliling menjual sabun, demi membantu orang tua. “Bila sore tiba, Mas Ta mengajak saya berkeliling menjual sabun batangan dengan naik sepada. Saya mbonceng di belakang”, cerita Ibu Hendra.

Oleh orang tuanya, khususnya Ibu, Bilyarta digadhang-gadhang agar kelak menjadi imam. Dia pada masa kecilnya pernah mendapat alat permainan untuk “misa-misa”-an. Adik-adiknya disuruh menjadi umat.

3. Pendidikan apa saja yang telah Beliau tempuh?

Tahun 1943 HIS di Magelang
Tahun 1947 ST di Yogyakarta
Tahun 1951 tamat STM di Malang
Tahun 1951-1952 Seminari Menengah di Jl. Code, Yogyakarta
Tahun 1952-1953 Seminari Menengah di Mertoyudan, Magelang
Tahun 1953-1959 Seminari Tinggi St. Paulus, Yogyakarta
Tahun 1959 Ditahbiskan menjadi Imam
Tahun 1959-1960 Belajar Arsitektur di ITB
Tahun 1960-1966 Sekolah Teknik di Rheimisc-Westfälische Hochschule, Aachen, Republik Federal Jerman
Tahun 1978 Fellowship of Aspen Institute for Humanistik Studies, Aspen, Colorado USA

4. Pengalaman bekerja dan pengabdian apa saja yang telah Beliau lakukan?

1945-1946 Prajurit BKR, TKR Divisi III, Batalyon V, Kompi Zeni
1947-1948 Komando Seksi TP Brigade XVII. Kompi Kedu
1959-1999 Pastor
1967-1980 Dosen Luar Biasa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM
1967-1999 Arsitek independent berbagai bangunan:

 Klasifikasi Bangunan Karya Romo Mangun Menurut Fungsinya
No Pertapaan/ Peziarahan Gereja/ Bgn Religius Bangunan Umum Wisma/ Rumah Kediaman Bgn Pendidikan/ Sekolah
1 Kompleks Peziarahan Sendang Sono
 Gedung Keuskupan Agung Semarang
 Markas Kowilhan II
 Rumah Kediaman Arief Budiman
 Perpustakaan Pusat UGM
2 Pertapaan Trapistin Bunda Pemersatu Gedono Boyolali, Jateng Gereja Katolik St. Maria Assumpta Klaten
 Gedung Bentara Budaya Kompas-Gramedia Jakarta Rumah Kediaman Romo Mangun di Gg.Kuwera, Mrican (Wisma Kuwera
 Seminari Anging Mammiri
3 Gereja St. Albertus Agung Jetis, Yogyakarta
 Pemukiman Tepi Kali Code Wisma Salam
 SD Kanisius
4 Gereja Katolik Cilincing Jakarta
  Wisma Unio Sangkalputung Klaten
 Kampus Universitas Surabaya
5 Gereja St. Lukas
  Wisma Sang Penebus
Relief Gelanggang Mahasiswa UGM
6 Gereja St. Maria Fatima
7 Gereja Bunda Maria Sapta Duka
8 Gereja Salib Suci
9 Gereja Deyangan
10 Kapel di Panti Semedi
11 Altar Gereja Muntilan
12 Gereja St. Theresia Salam Jombor
13 Gereja St. Yusuf
14 Gereja St. Petrus
15 Gereja Mandongan
1968-1999 Kolumnis di berbagai Koran dan majalah, novelis
1980-1986 Pekerja social di tepian S.Code, Yogyakarta
1986- Pendampingan warga korban pembangunan Waduk Kedongombo, Jateng

5. Mengapa Bilyarta masuk ke Seminari?
Bilyarta masuk ke Seminari setelah mengenyam banyak pengalaman dalam hal berperang. Beliau sempat menjadi prajurit TP (Tentara Pelajar), th.1948 Beliau menjadi Komandan Seksi TP Brigade XVII Kompi Kedu.

Ada banyak alasan masuk akal yang bisa dibayangkan, yang pasti pemuda Bilyarta pun turut berusaha merebut hidup yang lebih baik. Dilihatnya bahwa menjadi imam adalah suatu bentuk atau lingkup hidup yang menjadikan masa depan yang lebih baik.

Menurut Theresia Kushardini (Sekretaris Yayasan Arita), Romo Mangun ini tergerak menjadi imam antara lain karena kata-kata bijak penuh makna dari komandannya: Bapak Isman. Bapak Isman pernah menegaskan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia hanya terjadi karena perjuangan rakyat yang didukung oleh komponen-komponen yang lain. Yang paling banyak memberikan pengorbanan dan sekaligus menjadi korban dari perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia adalah rakyat kebanyakan, bukan yang lain. Selanjutnya

panggilan imamatnya termotivasi oleh dorongan hati yang kuat untuk membalas hutang budinya kepada rakyat kebanyakan. Baginya, bantuk hidup yang paling memungkinkan untuk “membayar” hutang budinya adalah dengan menjadi imam.

6. Bagaimana kehidupan Bilyarta sewaktu menjalani pendidikan di Seminari?

Masa di Seminari Tinggi, tidak banyak meninggalkan kesan khusus bagi teman-teman sepanggilan. Yang pasti, Beliau menjalani tugas dan panggilannya seperti kebanyakan frater atau rama mudha pada masanya. Salah-satu hal yang unik adalah bahwa pada waktu itu, dengan ketrampilannya di bidang teknik,

Bilyarta pandai memanfaatkan barang-barang yang oleh orang lain dibuang atau disingkirkan dari kamar.

Maka kalau orang hendak mencari “tanda-tanda” kehebatan Romo Mangun sebagaimana banyak dikenal oleh masyarakat mengenai Romo Mangun Kali Code atau Romo Mangun yang novelis plus budayawan, atau yang semacamnya dalam kurun waktu pendidikan di Seminari tidak kita dapatkan. Dengan kata lain, Mangunwijaya pada waktu rama mudha di Seminari (Tinggi), lainlah dengan Mangunwijaya yang kini banyak dikenal masyarakat luas.


7. Bagaimanakah konsep teologi Romo Mangun?

Salah-satu ciri konsep teologi Romo Mangun adalah progresif revolusioner yang juga sering disebut dengan teologi pembebasan, teologi yang memihak kaum kecil atau tertindas atau membebaskan kaum tertindas dari berbagai macam penindasan (ekonomi, politik, budaya) dan memulihkan martabat manusia

8. Sikap hidup bagaimanakah yang mendasari karya Romo Mangun?

Sikap hidup ngopeni barang yang sudah terbuang menjadi barang yang berharga atau terhormat. Kalau barang yang terbuang pun diopeni apalagi manusia

Cenderung memakai barang yang ada. Gereja St. Theresia Salam tidak dibongkar tetapi hanya dipermak dan dibalik pintu gerbangnya.

Dasar sikap hidupnya (kritik atas efisiensi dan kepraktisan, tambal sulam dan pating ceklunik lebih merepotkan):
• Romo Mangun lebih mengutamakan proses yang baik daripada mengejar hasil yang baik tetapi prosesnya tidak baik (mengorbankan banyak hal yang tidak perlu)
• Sama –sama membutuhkan harus berani memilih yang paling membutuhkan.
• Dasar dalam Injil Lukas 15:1-7 (kalau ada orang mementingkan keuntungan/ hasil ‘bisnis’, ada domba seratus, hilang satu akan berkata:”Daripada mencari yang satu belum tentu ketemu sedangkan yang 99 bisa terlantar, ya lebih baik yang lebih banyak diprioritaskan. Tetapi sikap pastoral sejati akan berkata:”Yang 99 memang membutuhkan perhatian namun yang satu jauh lebih membutuhkan perhatian.” Sikap dan semangat semacam inilah yang dimaksud dengan preferential for the poor
• Dasar dalam Yesaya 42:3 :”Buluh yang terkulai tidak akan dipatahkannya, sumbu yang berkedap-kedip tidak akan dipadamkannya.” Kalau semangat hidup atau mentalitasnya mengutamakan efisiensi atau hasil, maka buluh yang terkulai lebih baik dipatahkannya daripada merepotkan. Sumbu yang berkedap-kedip juga lebih merepotkan, maka lebih baik dipadamkan.

Cara dan gaya Romo Mangun mengangkat harkat dan martabat orang kecil bukan dengan gaya sinterklas yang membagi-bagikan uang atau barang kepada orang miskin sebagai ungkapan kedermawaan sebagaimana sering dilakukan banyak orang. Romo Mangun lebih memilih menjadi sahabat orang kecil dengan cara tinggal di antara dan di tengah-tengah mereka daripada menjadi sinterklas yang hanya akan menimbulkan ketergantungan (bukan pemberdayaan dan pemerdekaan) dan menyuburkan pola hidup konsumtif pada diri orang miskin.

Romo Mangun mau belajar dari orang-orang kecil dan sederhana, walaupun Beliau adalah orang yang pandai dalam berbagai bidang kehidupan (teknik arsitektur, kebudayaan, politik, sastra, kesenian, teologi dsb)

9. Bagaimana perhatian Romo Mangun terhadap pendidikan?

Romo Mangun mempunyai perhatian yang sangat besar pada masalah pendidikan terutama pendidikan dasar. Sebab dalam pendidikan dasar itulah dasar-dasar kehidupan manusia (religius, budaya, social, dsb) akan dibentuk.

Dalam bidang pendidikan Romo Mangun sangat setuju dengan pendidikan ala Paolo Freire (pendidikan yang membebaskan atau memerdekakan)

Kata kunci:
• Eksplorasi = anak harus mencari, bertanya dan menemukan jawabannya.Romo sangat tidak setuju dengan banking system (anak hanya disuruh menghafal dan menirukan apa yang dikatakan oleh guru)

• Kreasi (kreatif) = manusia diciptakan dengan akal budi. Dengan akal budi tersebut manusia mempunyai kehendak bebas dan sekaligus dituntut tanggung jawab atas kebebasan itu.

• Setia kawan = Tanpa setia kawan anak yang sudah pandai (karena pendidikan) akan cenderung minteri orang lain

• Religiusitas = religiusitas berbeda dengan agama. Kalau agama lebih menekankan segi-segi lahiriah, hokum dan dogma, maka religiusitas lebih menekankan sikap dasar iman (cinta kasih). Dengan religiusitas yang mendasari semua agama itulah diharapkan orang tidak menjadi fanatic-sempit melainkan bisa hidup bersama dengan baik meskipun berbeda agama.


Romo tidak setuju dengan pendidikan yang bertujuan menyiapkan anak menjadi siap pakai atau siap kerja. Sebab kalau pendidikan hanya menyiapkan anak didik menjadi siap pakai berarti mengingkari hakikat dan martabat manusia yang luhur dan mulia (Kej 1:26 dan Mzm 8) dan menganggap manusia sebagai alat termasuk alat produksi.


10. Bagaimanakah konsep/ visi sosok Y.B. Mangunwijaya di bidang arsitektur?

Humanisme arsitektur dengan pilihan ruang harus menjadi medan karya seorang arsitek, sehingga prioritas orang-orang kecil mendapatkan rumahnya atau lingkungannya yang membuat berkembang sebagai manusia.

Visi utama sosok arsitek humanis YBM ini terangkum dalam bukunya Wastu Citra.

Wastu adalah jiwa, roh kreatif penghidup kreasi manusia untuk mencari dan memperjuangkan yang benar (verum); yang indah asri (pulchrum) serta peziarah pelaku kebaikan (bonum). Semua ini harus terungkap dalam ekspresi karya yang menjadi gambar langsung (citra) dari kebaikan, kebenaran dan keindahan.

Dimensi I = humanisme, prioritas orang-orang kecil (kaum papa) mendapatkan rumahnya atau lingkungannya yang membuatnya berkembang sebagai manusia.
Dimensi II = bangunan harus mempunyai roh persaudaraan dan kasih (roh teologis = wastu) yang memberikan citra dari kebaikan, kebenaran dan keindahan.
 Cahaya, rancangan jiwa dan visi mencitrakan sesuatu, tdk hanya dibangun dengan satu fungsional fisik saja.
Dimensi III= cita rasa peka sejarah

11. Bagaimanakah konsep rancang YBM dalam karya bangunan gereja?

1. Menjebol model gereja-gereja bangunan yang tertutup, bertembok, ekskusif dan tidak bersaudara dengan kanan-kiri
2. Wujud roh keimanan (persaudaraan kasih yang mrp citra kehadiran Allah sendiri) adalah diberi ruang sinar; cahaya matahari di ruangan samar-samar menjadi bayang-bayang dan bias-bias cahaya.
3. Selalu terbuka langsung berhubungan dengan kehidupan yang ada dan ruang depan sama dengan ruang nyata hidup manusia. Prosesnya = baru ketika masuk dari identitas ramai, fisik, hiruk-pikuk orang perlahan menuju proses samadi ke bayang-bayang cahaya yang merupakan pijar-pijar cahaya Tuhan sumber kehidupan sendiri.
4. Antara kesucian altar dan kesucian pasar dijembatani secara arsitektural dengan meniadakan batas antara rumah Allah dengan pasar kehidupan.
5. Corak bangunan menampilkan corak budaya setempat.
6. Sistem bangunan gereja Romo Mangun “berpihak” pada umat. Artinya, tata ruang altar dan umat dibuat dekat dan komunikasi antara pemimpin liturgy dan umat mudah terjalin.

12. Kajian filosofi atau teologis apakah yang mendasari konsep rancang gereja YBM?

1. Sikap hidup “ngopeni” yang terbuang Romo Mangun dengan dasar Injil Lukas 15:1-7 dan Yesaya 42:3 (terkristal menjadi humanisme arsitektur)
2. Yang menjadi terang itu adalah awam atau umat (awam pengembang dan imam penjaga atau matahari dan bulan) = Konsili Vatikan II yang memahami umat Allah yang dilahirkan bukan menurut daging, melainkan dari air dan Roh Kudus (LG 9).
3. Cita rasa peka sejarah diberi tempat dan dasar religius yang sangat dahsyat
4. Allah bukanlah Allah yang jauh dan menakutkan atau angker, sebagaimana ditampakkan dalam model bangunan gedung gereja yang “keramat” atau “angker”. Tuhan adalah Allah yang dekat dengan kita, yang kita omong-omongan dengan kita dan ingin memberikan hidup-Nya dengan kita.


JEJAK-JEJAK WASTU CITRA ROMO MANGUN





Wisma Kuwera, Gang Kuwera, Mrican, Jogja
 Wisma Kuwera dikenal sebagai rumah kediaman Mangunwijaya yang cukup lama dihuni, dibangun secara bertahap atau lebih tepat disebut sebagai rumah tumbuh. Erwinthon mencatat bahwa Wisma Kuwera ini di’garap’ dari tahun 1986-1999. Letaknya di sebuah gang kecil di pusat kota Jogja. Tepatnya di Gang Kuwera, Mrican, Jogja. Saat ini Wisma Kuwera difungsikan sebagai Kantor Yayasan Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar yang merupakan yayasan yang dilahirkan Mangunwijaya dengan SD Mangunan sebagai proyek eksperimental pengembangan pendidikan dasar.
1) Tektonika, Makna dan Ruang
 Wisma Kuwera ini memberikan pengalaman meruang dengan kualitas tektonis yang khas. Dari pertama kali masuk ke halaman depan saya dan mungkin juga orang lain yang berkunjung pertama kalinya akan mengungkapkan kesan bahwa wisma ini terdiri dari 2 buah lantai. Terlihat adanya jembatan yang menjadi penyambung antara massa bangunan di kiri dan kanannya. Namun ternyata dugaan tersebut salah ketika setelah memasuki dan mengelilingi beberapa ruang. Wisma ini ternyata lebih dari 2 lantai. story lantai/ plat lantai bukanlah story yang sejajar atau sama tinggi, tetapi saling tembus-menembus naik-turun mengatasi kontur tanah yang tak rata.
2) Konstruksi Dinding
 Karakteristik penyelesaian konstruksi dinding pada wisma kuwera ini adalah adanya ventilasi pada bagian atas pertemuan dinding dengan plafond. Sehingga terkesan bahwa dinding hanyalah sekat ruang yang tidak kaku. Ada tipe dinding setengah dari tinggi ruang, namun sebagian besar fungsi dinding di dominasi oleh pemakaian jendela yang lebar dan tinggi.
Karakteristik dinding pada wisma ini juga diwujudkan dengan sebuah elemen arsitektural yang berbeda-beda. Pondasi dapat menjadi dinding, atap dapat menjadi dinding, langit-langit dapat menjadi dinding. Kadang kita dibuat merenung atas dualisme fungsi elemen-elemen arsitektural yang ditampilkan secara visual oleh Mangunwijaya.
3) Balok dan Kolom
Balok
 Pada desain Wisma Kuwera ini, Mangunwijaya menggunakan papan kayu berdimensi 2 x 20 cm2 sebagai balok anak dan pada bagian balok induknya papan kayu 2 x 20 cm2 ini dibuat double dengan dijajarkan pada jarak 12 cm. Biasanya saya melihat penggunaan materi kayu dengan dimensi seperti ini sering digunakan sebagai lisplank. Tetapi di tangan Romo Mangun, papan kayu ini dirakit sebagai balok lantai. Balok lantai ini tersusun atas 2 lapis papan yang dipasang vertikal dan saling bersilangan tegak lurus. Pemakaian papan kayu sebagai balok lantai ini secara prinsip lebih ekonomis tetapi juga benar, bahwa pemasangan papan dengan posisi vertikal ini mempunyai kuat terhadap daya tekan yang besar.
Kolom
 Kemudian pengamatan saya seakan mengalir menuju sambungan-sambungan pada balok lantai ini sehingga tiang kolom pun menjadi satu elemen yang tak luput dari pandangan saya. Pada salah satu kolom, setidaknya ada 2 material bahan dengan 3 jenis pengolahan dengan teknis pemasangannya. Pada bagian bawah terdapat semacam ‘kaki’ tiang kolom yang terbuat dari cor beton yang terhubung langsung dengan pondasi, 12x15cm2 dimensinya. Kaki tiang kolom ini pada beberapa desain bangunan cenderung punya lebar yang lebih besar, namun pada salah satu desain kolom ini terlihat rata dengan tiang kolom yang membebaninya. Saya belum tahu pasti ada hal apa yang akan disampaikan Mangunwijaya, namun dalam asumsi saya bahwa perpaduan 2 material bahan yang kontras antara alami dan artifisial ini adalah sebagai sebuah bahasa transisi untuk mengekspresikan kesan berat, pejal kestabilan tanah, lantai tegel bertekstur garis menuju ke kaki kolom beton dan kemudian menjulang ringan konstruksi tiang kolom kayu atau bahwa tiang kolom ini pada sambungan atau persentuhan pada elemen lantai perlu adanya penyelesaian transisional yang bisa diungkapkan dengan penggunaan material yang sama atau warna yang sama gelap atau terangnya.
 Tiang kolom berdimensi 12 x 12 cm2 ini bermateri kayu yang dimodifikasi secara berselang-seling/ lebih tepatnya dijepit oleh 2 buah papan kayu berdimensi 2 x 20 cm2, ada semacam keinginan untuk membuat kolom ini tidak terkesan solid tetapi berongga-rongga saling tembus dan seirama dengan rongga-rongga yang diciptakan pada susunan balok-balok lantai. Pada tiang kolom kayu 12x12cm2 ini pada ke-4 sisinya diberi naad/ coakan, sepertinya selain sebagai ruang untuk kabel, Mangunwijaya tak mau permukaan tersebut hanya tampil polos saja atau membuat kayu tersebut seakan tampil ringan menjulang ke atas dengan penegasan garis vertikal pada bagian tengahnya.
4) Konstruksi Atap
 Pada atap wisma ini tidak memakai kuda-kuda, hanya serangkaian usuk dan reng yang diapit oleh anyaman bambu sebagai plafond dan ‘eternit’ yang terbuat dari lembaran kubus berdimensi ±40x40 cm2. lembaran ‘eternit’ ini dipasang secara diagonal, menyerupai sisik ikan, pada bagian ujungnya dijepit oleh lembaran seng yang dilipat keluar pada ujung-ujungnya.







5) Artikulasi Detail
  Berikut ini beberapa pengolahan bahan pada detail yang dihasilkan oleh YB. Mangunwijaya
No Lantai Bukaan: pintu, jendela, roaster dll Plafond dan tekstur, umpak
 Kria Interior dan tangga
Lantai ubin cetak dengan tekstur garis diagonal. Kasar dan terlihat sangat sederhana
Roaster dengan metode cetak beton, finishingnya masih terlihat karakter beton yang terkesan cair dan bisa dibentuk secara dinamis. Kesan dinding lebih ringan.
Plafond dari anyaman bambu. Bidang anyaman yang berupa segi empat tidak sama ukurannya, ada yang lebar dan sempit, sangat random.
Tangga yang terbuat dari paduan bahan bambu utuh dan papan kayu.
Finishing lantai dapur dari mozaik pecahan keramik. Dari sisa menjadi bernilai seni.
Bentuk jendela bulat dari kaca bening tanpa kusen bertengger diantara expose anyaman bata dan plesteran dinding. Kontras!
Salah satu hasil karya pahatan Mangunwijaya pada dinding. Mengingatkan pada kebudayaan membuat relief pada dinding.
Sebuah meja hasil tenunan dan rangkaian balok-balok katu yang disusun daling overlap. Bahan sisa yang bernilai seni.
Lantai yang terbuat dari anyaman bambu bersanding dengan dinding (lagi) mozaik dari sisa kayu tripleks. Menyusun dan menganyam semakin mengentalkan ciri tektonika Mangunwijaya
 Jendela kaca lipat (atas) paduan antara bahan kayu, kaca bening dan kaca buram (kaca es). Membentuk pola tertentu yang tidak sama dimensinya. Sebuah permainan kontras antara halus kasar, gelap terang, besar-kecil, lebar-sempit secara bergantian.
Plester dinding yang dipahat dengan pola tektur tertentu. Sederhana dengan permainan garis vertikal-horisontal dalam jarak atau sela yang bervariasi.
Jembatan penghubung antar massa bangunan wisma kuwera. Dengan alas struktur bambu utuh mempunyai daya tekan yang baik karena tebal dan bentuk bulatnya
Paduan warna dari keramik yang dipasang tidak bersentuhan tetapi diberi nat yang cukup lebar.
Jaluzi jendela yang pada umumnya disisipi dengan kaca tetapi diganti dengan bahan kayu
penyelesaian perpaduan anyaman dari 2 buah bahan bangunan yang sangat kontradiksi: papan kayu dan seng. Keduanya saling terajut secara horizontal dan vertikal. Kekokohan elemen vertikal diwakili kayu dan keluwesan horizontal diwakili oleh seng. Kekakuan kayu dan keluwesan seng dipadukan dengan jeli, seakan-akan seng yang lentur tersebut meliuk-liuk masuk disela-sela material kayu, bak hembusan angin yang menembus disela-sela rongga kayu tersebut.
Tangga dari papan kayu yang anak tangganya dipasang secara zig-zag, sangat manusiawi jika dilihat dari gerakan langkah kaki manusia.

6) Bentuk pondasi
 Ada 4 buah kerucut terpancung yang diekspos di semua sisinya karena bagian dalam ternyata, tanah yang lebih rendah tidak diurug tetapi dibuat ruang semi basement yang ditalud. Talud/ turap atau retaining wall dan dinding batu bata dibiarkan begitu adanya dengan pola anyaman seperti gedeg, tanpa sentuhan finishing plester-hanya di cat dengan warna merah untuk umpak, putih-merah pada batu bata dan hijau pada talud. Saya pikir disinilah pondasi utama dari wisma ini yang menggunakan umpak dengan dimensi 40 cm. Bentuk kerucut disini merupakan bentuk yang mampu menyalurkan beban dengan merata di setiap sisinya, bentuk yang plastis dan solid.

Perspektif ARSITEKTUR Y.B.MANGUNWIJAYA


Perspektif ARSITEKTUR Y.B.MANGUNWIJAYA

1. arsitektur adalah ekspresi dan wahana suatu kebudayaan, dalam pikir alam citarasa dan ungkapan langsung paling jelas, bagaimana suatu masyarakat berfilsafat hidup dan menangani kehidupan
2. sudah sewajarnyalah kita berarsitektur secara budayawan; dengan nurani dan tanggung jawab penggunaan bahasa arsitektural yang baik.
3. berarsitektur adalah berbahasa manusiawi dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun dengan bentuk serta komposisinya
4. architecture is a fascinating profession. It bears in itself the vocation to co-create and more human world.
5. arsitektur yang baik tidak harus mengikuti mode terakhir, gaya yang sedang laku, dan sebagainya
6. tugas arsitektur yang paling pertama adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan material: memberi perumahan bagi berbagai aktivitas manusia.
7. bagaimanapun arsitektur dalam arti sebenarnya selalu berakar pada jati- diri orang maupun nasion yang memperoleh perwujudan citranya secara konsisten dan penuh makna.
8. Arsitektur yang baik, berbobot, sejati, juga selalu menyatakan dimensi kefanaan dan kebakaan, imanensi dan transedensi, kodrati dan adikodrati.
9. arsitektur tidak hanya mengolah masalah-masalah teknis belaka, tetapi berkecimpung dalam dunia makna-makna yang terdalam.
10. arsitektur adalah penciptaan suasana, perkawinan guna dan citra. Bukan dalam kemewahan bahan atau tinggi teknologinya letak harganya.
11. hikmah arsitektur yang baik juga harus dituntun oleh suatu penyelesaian yang sesederhana mungkin. Maka itu akan kokoh dan tahan zaman.
12. Whe had to reevaluate our concept and practices of ‘architecturing’. We had to abandon the role of being mere epigones of the architecyural world of thinking and designing thet were based on foreign principies and way of life.
13. Menciptakan arsitektur adalah memanfaatkan dan mengangkat martabat alam. Kita dapat belajar dari alam itu sendiri.
14. berarsitektur berarti berbahasa dengan ruang dan gatra, dengan garis dan bidang, dengan bahan material dan suasana tempat.
15. hakikat dan tugas budaya arsitektural: bagaimana ber-satu-hukum dengan alam semesta sekaligus mengatasinya; berbudaya, bermakna.
16. the question that trouble me most was then: how we Indonesians could establish a contemporary architecture, created on the basis of truth and beauty, and relevant to our own Indonesia history and our present situation


4 komentar: