Pages

TV ONLINE

CARA PASANG TV

14 Oktober, 2012

Berpikir Visual-Auditori-Kinestetis dalam Ber-Arsitektur



Ber-Arsitektur 

Marqués de Riscal winery by Frank Gehry
Ber-Arsitektur adalah kegiatan yang dilakukan seorang arsitek sebagai seorang master builder, sehingga di dalamnya termasuk proses yang berlangsung atau dilakukan oleh arsitek tersebut dalam menghasilkan sebuah desain. Sebagai proses yang dilakukan oleh seorang ahli, maka ber-arsitektur bukan sebuah kegiatan yang dilakukan tanpa kesadaran. Hal inilah yang membedakan arsitektur dari artefak, dan inilah mengapa seorang desainer profesional dibutuhkan.[2] Heath menyatakan tentang arsitek dan arsitektur sebagai berikut: 

Architecture, will be taken to be the design, by a full-time professional designer trained for his work, of structures of some social importance to which, whether because of their large scale or their complexity, considerable resources must be devoted.[3]

Bagaimana menghasilkan arsitek yang profesional, yang mampu melakukan tindakan arsitektural itulah yang menjadi problem bagi pendidikan arsitektur. Tindakan arsitektural ini pada kenyataannya bukan sesuatu yang mudah diformulasikan. Kenyataan di dalam dunia praktek profesi arsitektur, tiap arsitek memiliki cara ber-arsitektur yang berbeda, bahkan mungkin seorang arsitek yang sama dapat memiliki cara ber-arsitektur yang berbeda untuk proyek yang berbeda. 

Dalam pendidikan arsitektur, Studio Merancang Arsitektur adalah tempat dimana mahasiswa mendapat pelatihan untuk mempersiapkan mereka pada pengalaman praktek arsitektur yang sesungguhnya. Di sini mahasiswa dilatih untuk mengenali masalah desain dan menyelesaikannya. Mengingat keragaman pedekatan pada penyelesaian permasalahan desain pada kenyataan praktek professional arsitektur, maka permasalahannya adalah bagaimana mempersiapkan para mahasiswa atas keragaman pendekatan yang ada. 

Cara Berpikir Arsitektur dan Problem Arsitektur
Dilihat dari cara bekerja-nya setidaknya terdapat dua cara kerja dalam ber-arsitektur, yaitu rasional dan romantic. (Heath, 1984) Cara rasional lebih berdasarkan pada alur logik sedangkan cara romantik lebih berdasarkan pada alur intuisi. Desain Arsitektur yang optimal adalah sesuatu yang tricky karena pada hakekatnya arsitektur lebih dari sekedar bangunan, terutama karena ia memiliki sebuah hakekat seni (Gauldie:1969; p.1). Kerumitan ini disebabkan karena begitu beragamnya problem arsitektur hingga Heath menyebutnya sebagai “sebuah ruang problem” yang mempunyai 3 dimensi. Ruang problem umum arsitektur berada dalam sebuah sumbu kartesian dari Simbolisme, Informasi dan Noise. Setiap obyek arsitektur berada dalam koordinat dari ketiga sumbu tersebut dengan titik berat masing-masing tergantung pada kepentingannya. Kemultidisiplinan arsitektur inilah yang membuat pemahaman, pendekatan dan penyelesaian arsitektur memerlukan keahlian yang tinggi dan oleh karenanya terlihat sebagai intuisi. Hal ini dinyatakan oleh Christoper Jones dalam catatannya yang dimuat oleh Nigel Cross dalam buku Developments in Design Methodology. 

What’s striking is that each method begins with a first stage that is extremely difficult to do which has no description of how to do it. Which is intuitive. 

(Cross: 1984, p.331)
Di sisi lain, dalam ilmu psikologi perbedaan cara menyelesaikan masalah dikatakan disebabkan oleh adanya perbedaan cara berpikir dari setiap individu yang digolongkan dalam 3 golongan besar yaitu cara berpikir Visual, Auditori, dan Kinestetik. Arsitektur sebagai bidang ilmu yang memiliki paradoks seni dan teknik, mengharuskan para arsitek untuk selain memiliki aesthetic skill juga memiliki technical ability, suatu hal yang tidak dimiliki oleh bidang ilmu atau profesi yang lain. Berdasarkan hal itu mungkin kemampuan ber-arsitektur dapat ditingkatkan dengan pengembangan cara berpikir Visual, Auditori, dan Kinestesis (VAK). 

Kognisi dan Kontemplasi dalam Ber-Arsitektur
Heath mengetengahkan bahwa dalam ber-arsitektur terdapat 2 macam alur yaitu alur rasional dan alur romantik, dimana alur rasional lebih berdasarkan pada alur logik sedangkan alur romantik lebih berdasarkan pada alur intuisi atau perasaan. Alur rasional mengutamakan sistemasi dalam pengumpulan data, analisa permasalahan dan pemecahannya, sedangkan alur romantik mengutamakan lompatan- lompatan intuitif yang kemudian dapat diuji kembali berdasarkan data- data yang terkumpul. 

Berlainan dengan Heath, Klassen mendekati proses ber-arsitektur dari kontemplasi yang terjadi dalam setiap tahapnya. Tahapan ber-arsitektur menurut Klassen adalah:
  • Memahami Arsitektur (Understanding Architecture) 
  • Mengalami Arsitektur (Experiencing Architecture) 
  • Membuat Arsitektur (Making Architecture) 
Tahap- tahap tersebut tidak berlaku linear, tetapi lebih merupakan sebuah siklus yang terus berkesinambungan. Prinsip kesinambungan pengalaman menurut Dewey adalah bahwa setiap pengalaman sekaligus mengambil sesuatu dari pengalaman yang telah berjalan sebelumnya dan mengubah dengan cara tertentu kualitas pengalaman yang datang sesudahnya.[4] Disinilah terletak lingkaran kreatif arsitektur. 

Klassen menyatakan bahwa dalam proses ber-arsitektur tersebut terdapat dua proses yang berlaku[5] yaitu:
  • Proses pembuatan bangunan sebagai obyek fisik 
  • Proses yang menampilkan ‘sesuatu’ 
Bagi Heidegger, proses penampilan ‘sesuatu’ ini dapat dilakukan dengan baik hanya apabila seseorang telah memiliki kemampuan ‘ber-tempat tinggal’ (dwelling). Ber-tempat tinggal seperti yang dimaksud oleh Heidegger memiliki unsur kontemplasi spatial, dimana ia tidak sekedar tinggal di suatu ruang, tetapi ia berinteraksi dengan ruang tersebut, ia memiliki pengalaman spatial dalam ruang tersebut. 

Building as dwelling, that is, as being on earth, however, remains for man’s everyday experience that which is form the outset ‘habitual’ – we in habit it, as our language says so beautifully: it is the Gewohte. For this reason it recedes behind the mainfold ways in which dwelling is accomplished, the activities of cultivation and construction.[6]

Heidegger juga menyatakan bahwa untuk dapat membangun, seseorang harus terlebih dahulu memiliki kemampuan untuk ‘ber-tempat tinggal’. Dengan kata lain, jika seseorang tidak memiliki pengalaman spatial dari ‘dwelling’ tersebut, maka ia tidak akan dapat membangun dengan benar, karena bangunan yang bermakna atau memiliki ‘sesuatu’ harus dapat menghadirkan suasana ke-ber-tempat tinggal-an tersebut. 

The nature of building is letting dwell. Building accomplishes its nature in the raising of locations by joining of their spaces. Only if we are capable of dwelling, only then can we build.[7]

Dalam proses making architecture, arsitek menggali kembali kenangan atas pengalaman spatial tersebut dan membayangkan pengalaman tersebut hadir dalam bangunan yang dirancangnya. Bagaimana pengalaman arsitektur tersebut dapat membantu seorang arsitek untuk membuat arsitektur adalah karena pengalaman arsitektur tersebut sebagai sebuah pengalaman estetik menghadirkan langsung esensi dari pengalaman itu sendiri. Pengetahuan dan pemahaman ruang yang didapat dari pengalaman tersebut tidak dapat diperoleh dengan cara lain kecuali mengalami sendiri. Imajinasi arsitektural lebih merupakan imajinasi natural daripada imajinasi artifisial.[8] Imajinasi natural memerlukan proses kontemplatif dari pengalaman- pengalaman yang ia dapatkan agar dapat menghadirkan kembali dalam bentukan yang lebih baru. 

Kreatifitas Ber-Arsitektur
Hal selanjutnya diperlukan selain kognisi dan kontemplasi dalam ber-arsitektur adalah kreatifitas dalam pembuatannya. Langkah kreatif ini yang membuat suatu karya arsitektur berbeda dengan yang lainnya. Kreatifitas ber-aritektur dapat didekati dari teknik kreatifitas itu sendiri, atau dari saluran kreatifitas sehingga seorang arsitek dapat mengembangkan kreatifitasnya. 

Teknik Kreatifitas (Broadbent)

1. Check Lists : Membuat senarai dari segala kemungkinan data yang berhubungan dengan bangunan yang akan dibuat.
2. Metode Interaksi : Membuat daftar kemungkinan hubungan antar elemen yang ada dalam desain, misalnya morfologi ruang, studi sirkulasi, dll.
3. Metode Psiko-Analisa : Menggunakan Imajinasi langsung dari arsitek.

Alur Kreatifitas (Antoniades)
Antoniades menekankan kreatifitas pada kemampuan fantasi dan imajinasi dari para arsitek dengan bersumber pada dua kelompok besar yaitu intangible dan tanggible. 

Pada dasarnya alur Intangible mengambil sumbernya dari hal- hal yang tidak kasat mata atau hanya merupakan ide-ide atau konsep-konsep yang bersifat abstrak, sedangkan alur Tangible bersumber dari hal- hal yang secara kasat mata dapat dipelajari. 

Bagaimanapun, baik ditinjau dari teknik kreatifitas Broadbent maupun saluran kreatifitas Antoniades, tidak akan banyak membantu apabila seorang arsitek hanya memiliki sedikit pengalaman arsitektur. Karena sekali lagi, sumber dari imajinasi arsitek adalah imajinasi natural, yang timbul dari pengalaman interaksi natural antara dirinya sendiri dengan ruang- ruang yang ada di sekitarnya. 

Berpikir VAK dalam Ber-arsitektur
Manusia memiliki cara berpikir yang konsisten dalam menanggapi dan menggunakan stimuli. Dilihat dari sudut pandang ini maka manusia menanggapi stimuli dari ke-tiga penerima sensor utama dalam otak yaitu: 
  • Visual : Menanggapi dengan cepat informasi- informasi visual dan dapat melakukan visualisasi imajinatif. 
Dengan kemampuan ini seseorang dapat mengerti dengan mudah obyek- obyek tiga dimensi, dan dapat dengan mudah mengingat bentuk dari sebuah obyek visual. 
  • Auditory : Menanggapi informasi auditori dengan cepat, memiliki kemampuan merumuskan kata- kata, dan memiliki ingatan akan detail. 
Meskipun berhubungan dengan kemampuan pendengaran, tetapi kelebihan pemikir auditori ialah ia mampu merumuskan sesuatu dengan kata- kata dan mampu mengkomunikasikannya dengan baik kepada orang lain. 
Ketika seorang pemikir auditorial menceritakan dengan detail definisi sebuah bentukan, seorang pemikir visual dapat membayangkan dengan tepat benda yang digambarkan oleh pemikir auditorial tersebut. 
  • Kinestetik : Menanggapi sesuatu dengan cepat apabila ia ikut berpartisipasi dalam proses yang terjadi. 
Dalam hal ini seorang pemikir kinestetik bahkan dapat merasakan kembali perasaan yang ia miliki ketika ia berada pada situasi tertentu di masa lalu. 

Seseorang dapat memiliki satu atau kombinasi dari beberapa cara berpikir. Meskipun cara berpikir seseorang memiliki kecenderungan ke arah- arah tertentu, tetapi menurut teori progressive learning, kemampuan ini dapat dilatih sehingga seseorang dapat memiliki kombinasi dari ketiga cara berpikir tersebut. Hal ini disebut sebagai multiple intelligentsia. 

Bila kita melihat kembali pada proses kognisi, kontemplasi dan kreatifitas ber-arsitektur, dimana kekayaan imajinasi didapatkan dari pengalaman arsitektur, dan kreatifitas didapatkan dari kemampuan penyarian imajinasi menjadi sebuah konsep yang nyata, maka seorang arsitek perlu mengembangkan multiple intelejensia VAK. 

Implementasi dalam Tugas di Studio
Sebagai contoh pelaksanaan di studio berikut ini adalah tugas Studio Merancang Arsitektur Semester 6 – Arsitektur Simbolik (AR600) di Jurusan Arsitektur UK Petra. Dalam tugas ini mahasiswa diminta untuk mengobservasi kehidupan budaya sebuah kampung tertentu di Surabaya dan mengusulkan dan merancang sebuah tempat kegiatan yang lekat dengan kegiatan atau image yang ada di kampung tersebut. 

Dalam merancang sesuatu yang simbolik, tentu harus timbul dari konteks budaya dan lingkungan fisik yang ada. Observasi yang dilakukan oleh mahasiswa melibatkan apresiasi, atau merasakan ambience dari lingkungan kampung yang ada dan membuat senarai visual, auditori dan kinestetis dari apa yang menimbulkan ambience tersebut. Rancangan yang dibuat merupakan sebuah sisipan sensual yang entah mengusik, menggugah, atau memperkuat ambience yang ada, sehingga arsitektur simbolik yang dihasilkan tidak menjadi alien yang “tidak tahu diri”. 

Dalam contoh tugas ini, mahasiswa (Danny Pramono) mengambil obyek observasi dan site Kampung Reog di Surabaya, dan dia terinspirasi dari gerak yang terjadi dalam tarian Reog. Unsur gerak inilah yang dia transformasikan menjadi sebuah karya arsitektur dengan sensasi Visual-Auditori-Kinestetis pinjaman dari sekitar. 


    

 

Referensi

Antoniades, A.C., Poetics of Architecture: Theory of Design, Van Nostrand Reinhold, New York, 1990.

Broadbent, G., Design in Architecture: Architecture and the Human Sciences, John Wiley & Sons Ltd., 1973.

Cross, N., Developments in Design Methodology, John Wiley & Sons, 1984

Sudarminta, John Dewey: Experience and Education,(dialih bahasakan oleh Hani’ah), Teraju, Jakarta, 2004.

Field, Richard, The Internet Encyclopedia of Philosophy: John Dewey (1859-1952), http://www.iep.utm.edu/d/dewey.htm#Life and Works, 2001.

Gelb, M.J., Menjadi Jenius Seperti Leonardo da Vinci: Menggunakan Tujuh Prinsip Da Vinci untuk Meningkatkan Kreativitas dan Menyeimbangkan Tubuh dan Pikiran, Gramedia, Jakarta, 2002.

Heath, Tom, Method in Architecture, John Wiley & Sons Ltd., Norwich, 1984.

Klassen, Winand, Architecture and Philosophy, University of San Carlos, Philippines, 1990.

Leupen, Bernard, Design and Analysis, Van Nostrand Reinhold, New York, 1997

Maxwell, Robert, Sweet Disorder and The Carefully Careless: Theory and Criticism in architecture, Princeton University School of Architecture, 1993.

Wade, John W., Architecture, Problems, and Purposes: Architectural Design as a Basic Problem Solving Process, John Wiley & Sons Ltd., 1977.

_____, Learning Styles: Or How We Go From the Unknown To the Known, http://www.nwlink.com/~donclark/hrd/learning/styles.html#vak, 2000.

[1] Cross, N., 1984

[2] Heath, 1984, p.5

[3] Ibid, p.6

[4] Sudarminta, 2004, p.22

[5] Klassen, 1990, p.20

[6] Ibid, p.21

[7] Klassen, 1990, p.20

[8] Wilson, 1992, p.4.

Catatan:
Tulisan ini merupakan revisi dari paper yang sama yang telah dipublikasikan dalam Seminar Aptari di Universitas Brawijaya, Malang, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar