Pages

TV ONLINE

CARA PASANG TV

01 Februari, 2011

Teori | Sejarah Arsitektur
oenggun
[info]oenggun
Teori | Sejarah Arsitektur

Perjalanan Kolong Jembatan

undi gunawan, maret 2004

abstrak
Tulisan singkat dalam ranah filsafat arsitektur ini, secara hipotetik-spekulatif, berusaha menelusuri konsekuensi dari beragam (kesadaran) pola pikir kesejarahan, yang pada akhirnya berimbas pada pembentukan dan pemahaman akan teori arsitektur. Kesadaran akan pola pikir kesejarahan membawa konsekuensi-konsekuensi pembentukan teori(-teori) arsitektur.

Kata kunci: kesadaran, kesejarahan, subyek, teori arsitektur

-

“Present not as a total presence, but as a trace.”
Derrida ((1967) 1978:119)

Pemahaman kita akan kondisi sekarang (kekinian) merupakan stimulasi dari kesadaran kita akan masa-lalu (kesejarahan). Pemahaman ini memberi dua macam konsekuensi.

Konsekuensi pertama, yaitu bahwa setiap pencapaian teori arsitektural yang ada sekarang merupakan peninggalan dari pencapaian teoritis masa-lalu. Tidak ada pencapaian kekinian yang lepas dari masa-alu. Terciptanya pemikiran dikotomis, berpusat pada asumsi akan sesuatu entitas pemahaman ideal, yang selalu memisahkan (dan menyatukan secara hirarkis) masa-lalu dan masa-kini. Aktivitas pemisahan dilakukan oleh pemahaman kesejarahan yang bersifat sekedar kronologis dan kaleidoscope. Sudut pandang ini kemudian berkembang menjadi sebuah pemahaman yang bersifat total (over-governing), di mana masa-lalu dan masa-kini dapat dipahami secara universal. Karena merupakan pengembangan dari pemahaman kesejarahan yang bersifat kronologis dan kaleidoscope, dialektika (Hegelian) ini merupakan puncak dari pemahaman secara dikotomis terhadap sejarah.

Konsekuensi kedua, yaitu memandang masa-lalu dan masa-kini sebagai suatu rangkaian relasional. Masa-lalu dan masa-kini tidak dipandang secara dikotomis sebagai oposisi yang saling dihadap-hadapkan, melainkan dipandang sebagai batas-batas terolah bagi sebuah pemahaman teoritis (secara etimologis). Hal inilah yang diungkapkan oleh Paul-Alan Johnson sebagai relasi figure-ground antara teori dan sejarah (Johnson, 1994:20-23). Konsekuensi kedua ini memberi kemungkinan-kemungkinan penalaran sejarah yang berbeda dibandingkan dengan konsekuensi pertama.

- - -

Pengertian – pengertian yang disampaikan dalam dua paragraf di atas adalah sekilas bagaimana penalaran subyek terhadap kondisi kesejarahannya. Secara lebih khusus, dalam lingkup teori arsitektur, aktivitas teori dan sejarah arsitektur tidaklah secara terbatas pada pemahaman kekinian dan masa lalu belaka. Teori arsitektur, dari sekian banyak rationale yang dimilikinya, ada disebabkan oleh dorongan primordial untuk mewujudkan perhatian terhadap masa-depan.

Konsekuensi pertama di atas dilatarbelakangi oleh keyakinan terhadap kemampuan subyek untuk memahami sejarah secara rasional. Dengan mempelajari sepenggal masa-lalu, dan melakukan analisa kesejarahan terhadap kondisi masa-kini, akan memperoleh gambaran terhadap masa-depan. Dalam bentuknya yang paling absolut, dalam pemikiran Hegel, sejarah merupakan perjalanan dari ruh (spirit) dalam mencapai kebebasannya. Abstraksi yang dimiliki oleh ruh, merupakan payung universal terhadap yang real (material). Keyakinan ini termanifestasi dalam teori arsitektur sebagai gejala kemunculan teori-teori yang dipandang sebagai teori normatif. Teori normatif melibatkan seperangkat aturan-aturan, resep, prinsip-prinsip, bagi tindakan (desain) melalui norma-norma yang disetujui bersama berupa pernyataan-pernyataan (manifesto) dan 'filsafat' yang muncul dari seperangkat ideologi tertentu. (lihat Johnson 1994:27 dalam menjabarkan teori desain dari Peter Rowe). Dalan kajian ilmu pengetahuan dan ilmu sosial, kita mengenal kritik Karl Popper ((1950) 2002:11) yang mendasar terhadap keyakinan historisisme semacam ini. Sejarah, history, telah menjadi ideologi, historis-isme. Sejarah telah berhenti menjadi kajian sejarah yang hidup dan kritis. Kajian sejarah dalam historisisme merupakan kajian sejarah yang anti-sejarah. Kritik umum terhadap konsekuensi pertama kesadaran ini adalah bahwa keyakinan ini membawa bibit-bibit absolutisme, patokan norma yang pada akhirnya bersifat sentralistik dan hilangnya peran subyek secara otentik yang dikarenakan oleh determinisme arah sejarah.

Jika sejarah tidaklah dapat bersifat absolut dan deterministik, apakah itu berarti bahwa sejarah bersifat anarkis? Anarkis dalam artian sebagai rangkaian subyek abstrak individual yang terbang bebas ketika masa-lalu terpisah dari masa kini, dan masa-kini terpisah dari masa-depan? Terbang bebas tanpa melalui proses kesadaran tertentu? Subyek nihilistik yang secara absolut 'bebas' dari norma-norma?

Pemahaman kesejarahan merupakan pemahaman yang dilakukan subyek terhadap dirinya dan dunianya melalui proses interpretatif terus-menerus terhadap kondisi temporalitas (masa-lalu). Proses interpretasi ini membatasi dan sekaligus menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi subyek dalam membentuk pemahamannya. Subyek yang tidak otentik cenderung akan menerima tradisi tanpa secara kritis dan hanya akan terbatas memenuhi kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh tradisi tersebut. Subyek yang otentik akan mengkritisi tradisi, dan menemukan atau mencoba kemungkinan-kemungkinan yang melampaui tradisi tersebut.

Bagaimana pemahaman kesejarahan dapat bersifat kritis? Pemahaman kesejarahan dapat bersifat kritis dengan menyadari karakter relasional dari penalaran sejarah. Relasional berarti referential. Mari kita cermati kesimpulan Paul-Alan Johnson (1994:23):

“Architectural theory as design-talk cannot be studied without reference to the broader talk of architecture or rhetoric generally, the marks of individuality without reference to the conventions of society, the 'marked' quality without reference to those qualities left unmarked (...), or the architectural event without reference to the physical, cultural, and political context that develop it.”

Jika teori arsitektur (dalam kaitannya dengan kesejarahan) merupakan seperangkat referensi-referensi belaka, bagaimana pemahaman kesejarahan otentik dapat terbentuk?

- - -

Memandang sejarah sebagai suatu rangkaian relasional bukanlah dipahami secara reduktif sekedar hubungan antara A dengan A' (A/A' = event-fakta-konsep-ide-menifesto-artefak dari proses menyejarah). Selesai.Titik. Sejarah sebagai rangkaian relasional juga juga memiliki seperangkat 'kemungkinan-kemungkinan', jika tidak kemudian dapat dibakukan sebagai 'prinsip-prinsip'. Rangkaian relasional kesejarahan dapat difinisikan sebagai berikut:

(1)A yang merupakan referensi dengan A' adalah ad infinitum, secara tidak terbatas saling melingkar menjadi referensi antara satu dengan yang lain. Absolut, tidak ada progres, adalah sebuah tradisi yang 'mati', ekstrem dan tidak kritis. Secara ekstrem, merupakan 'copy-paste'. A tidak pernah keluar dari lingkup primordialnya.
(2)A yang keluar dari kondisi absolut, namun tidak pernah berkesempatan, atau bahkan tidak memiliki intensi untuk kembali. Manifesto-ideologis-retorik yang diikuti banyak subyek di luar lingkup-asal/embriotiknya, namun lingkup primordialnya selalu bergerak dinamis. A selalu bergerak tanpa pernah sama lagi dengan lingkup primordialnya.
(3)A bergerak keluar dari lingup primordialnya dan secara aktif mengubah pusat-pusat pemahaman baik pada lingkup tujuannya dan pada lingkup primordialnya.
(4)Lingkup primordial A tumbuh meluas dan bersingungan dengan lingkup tujuan A'. kedua lingkup tersebut memiliki seperangkat kemiripan interpretasi akan nilai, tujuan, atau praxis.
(5)Lingkup primordial A mengambil alih pemaknaan dan norma/nilai lingkup tujuan A'. A merepresentasikan dirinya sebagai supremasi kesejarahan. A merupakan despot sejarah.
(6)Lingkup primordial A tumbuh meluas dan bersinggungan dengan lingkup tujuan A', namun A' hanya menerima lapisan permukaan dari A. A' tidak pernah benar-benar mengadopsi A. Secara substansial A' tetap A', namun dengan pewajahan A.
(7)A dan A' tumbuh secara dinamis secara bersamaan, namun saling menegasikan. Apa yang ada di A hanya akan dijumpai negatifnya di A', demikian pula sebaliknya.
(8)A hanya merupakan tipuan-halusinasi-imajinasi dari A'. Jika seolah A merupakan sebuah referensi yang sangat berpengaruh bagi A', namun A sebenarnya hanya merupakan rekaan sadar-taksadar dari A' dalam dinamika dirinya sendiri.

Kemungkinan-kemungkinan di atas hendaknya masih diterjemahkan secara lebih sederhana dan diuji melalui sperangkat analisa. Kemungkinan-kemungkinan di atas bukanlah kerangka teoritis (theoritical framework) yang sudah jadi, namun dirinya selalu menegasikan kondisi absolut tanpa menjadi anarkis. Kemungkinan-kemungkinan di atas tidak hanya berorientasi pada obyek, kemungkinan-kemungkinan di atas juga tidak berorientasi pada subyek. Kemungkinan-kemungkinan di atas tetap mengakui otonomi sistem-sistem kesejarahan yang telah ada sebelumnya. Dalam sudut pandang relasional, yang partikular dan yang universal bukanlah merupakan oposisi dikotomis.

Jika aktivitas teori merupakan konstruksi dan rekonstruksi seperangkat penjelasan akan fakta, kemungkinan-kemungkinan di atas menyajikan pluralitas dari aktivitas teori. Dengan menekankan pada intertekstualitas representasi dan referensi dari narasi sejarah, rangkaian relasional di atas memungkinan proses demistifikasi dari aktivitas sejarah dan teori. Proses demistivikasi ini diperlukan, karena aktivitas sejarah dan teori secara 'normal' merupakan aktivitas yang mencari seperangkat pembenaran dan otoritas terhadap (fakta) masa-lalu dan menjadi aktivitas yang tidak pernah terlepas dari relasi kekuasaan. Kekuasaan yang dipahami sebagai lingkup potensialitas dari kapasitas penciptaan aktivitas merancang.

Jika Da-sein dalam pemahaman Heidegger merupakan sebentuk 'subyek otentik', aktivitas sejarah dan teori merupakan potensialitas untuk menuju ke arah itu. Ada sebaiknya tulisan ini diakhiri dengan mencermati:

“The “before” and the “ahead of” indicate the future that first make possible in general the fact that Da-sein can be in such a way that it is concerned about its possibility-of-being. The self-project grounded in the “for the sake of itself” in the future is an essential quality of existentiality. Its primary meaning is the future.”
-Heidegger ((1953:327) 1996:301)

dan ketika subyek otentik mampu 'melampaui sejarah' tanpa 'melupakan sejarah';

“Unlike history, becoming cannot be conceptualized in terms of past and future. Becoming-revolutionary remains indefferent to questions of a future and a past of the revolution: it passes between the two.”
-Deleuze&Guattari ((1980) 1988:292)

- - -
Kegiatan berarsitektur tidaklah terlepas dari sejarah dan teori. Jika konsekeuensi pertama dari aktivias sejarah digambarkan sebagai sebuah jembatan yang menghubungkan ranah masa lalu dan masa kini, konsekuensi kedua menggambarkan betapa banyak jembatan yang harus kita lalui, maka tulisan ini merupakan sekelumit penyelidikan awal akan aktivitas-aktivitas kesadaran pada kolong jembatan-jembatan tersebut. Tulisan ini merupakan awal dari penyelidikan lanjut sejarah lebih tangible terhadap teori dan sejarah arsitektur.
- - -

Referensi:
Deleuze, Gilles & Guattari, Felix, (1980) 1988, A Thousand Plateaus; Capitalism and Schizophrenia, Athlone Press Ltd, London (diterjemahkan oleh Brian Massumi)

Derrida, Jacques, (1967) 1978, Writing and Difference, Routledge, London (diterjemahkan oleh Alan Bass)

Heidegger, Martin, (1953) 1996, Being and Time, State University of New York Press, New York

Johnson, Paul-Alan, 1994, The Theory of Architecture: Concepts, Themes and Practice, Van Nostrand Reinhold, New York

Stanford, Michael, 1988, An Introduction to the Philosophy of History, Blackwell Publishers Inc., London

Tidak ada komentar:

Posting Komentar