Awal
dari perkembangan arsitektur Budhis di Jepang telah mengalami satu
proses yang evolusioner. Munculnya sekte-sekte baru dalam agama Budha,
berakibat pula pada pembangunan bangunan baru, perubahan kekuasaan,
perkembangan teknologi, dan kesemua hal tersebut dapat memberikan
sumbangan yang beragam, terutama pada detail-detail bangunanya.
Perkembangan desain dari kuil-kuil Budhis yang terdapat di China dan
Jepang, merupakan produk yang sangat kompleks meskipun melalui sebuah
proses perubahan yang lambat. Dari hasil proses tersebut, akhirnya
memberikan adanya perpaduan di antaranya, pengaruh-silang (cross-influences), percampuran (hybridization), perubahan (alteration), dan keunikan (idiosyncrasies).
Dengan adanya perbedaan-perbedaan itu, akhirnya mereka membuat
kodifikasi dan standarisasi, terutama yang berkaitan dengan skala dan
proporsi. Di China sendiri, desain bangunan pertama kali dikodifikasi
pada abad ke-12 melalui publikasi yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah
berupa standarisasi bangunan, yang tujuannya adalah untuk menggantikan
pedoman yang telah ada yang dikeluarkan sekitar abad ke-8.
Dalam
arsitektur klasik barat, arsitek telah menggunakan rincian sistem dari
proporsi, dan kebiasaan dari arsitek atau tukang kayu/bangunan (carpenters)
domestik, adalah selalu menggunakan metode-metode proporsi yang
sederhana. Bagaimana pun pendokumentasian dari metode desain dari para
tukang kayu/bangunan adalah sangat langka. Hal ini disebabkan, karena
pertimbangan dari beberapa teknik yang mereka gunakan merupakan rahasia
profesi. Hal yang sama menjadi benar di Jepang, bahwa tukang
kayu/bangunan menyembunyikan metode-metode desain dalam keluarga mereka
sebagai rahasia (Larsen, 1994:112). Bila pengetahuan dari kiwari
telah dipertimbangkan betul-betul sebagai rahasia, hal ini dimaksudkan
agar dapat diteruskan ke generasi berikutnya. Memang telah
dipertimbangkan oleh beberapa tukang kayu/bangunan, bahwa publikasi
mengenai kiwari ini membahayakan, karena menurut
pendapat mereka arsitektur tidak dapat disimpan atau dicatat semata-mata
dalam batas-batas peraturan yang tegas. Para arsitek atau tukang
kayu/bangunan harus selalu mempertimbangkan lingkungan di tempat
bangunan akan didirikan. Dalam praktek ritual, banyak permasalahan dan
tantangan yang dihadapi dalam mempelajari peralatan tradisional yang
dipergunakan tukang kayu/bangunan dalam merancang bangunan di Jepang,
bahkan juga untuk metode dan teknik. Secara historis, kabut rahasia
metode dan teknik tukang kayu/bangunan yang spesifik sudah terlihat
sejak awal perkembangan arsitektur kuil-kuil sampai dengan bangunan
rumah tinggal, mereka telah menggunakan beberapa ukuran, proporsi,
teknik dan metode yang sangat indah. Kunci dari desain rekonstruksi
adalah untuk menemukan formula proporsi yang asli, dan untuk mengulang
kembali harmoni pada beberapa struktur yang berbeda ukuran dan
perencanaan. Secara
umum, formula proporsi masuk dalam dua kategori, yang pertama meliputi
proporsi dari site; dan kedua, proporsi dari komponen bangunan itu
sendiri. (Brown,
1989:46) Sebenarnya, pedoman untuk tukang bangunan/kayu di Jepang
standarisasinya telah dimulai sejak periode Edo (1603~1867). Namun,
dalam perkembangannya, sistim proporsi banyak mengalami perubahan dan
perbedaan, dan kesemuanya tergantung pada periode, wilayah dan workshop (bengkel) perorangan, tetapi pada dasarnya serupa (Coldrake, 1990:24).
Dalam
tulisan ini akan dibahas mengenai desain yang dinamis dari penempatan
proporsi dan ukuran bangunan kuil-kuil dan komposisi bangunannya.
Seberapa besar peran dari metode kiwari dan teknik kiku,
yang digunakan sebagai dasar standard ukuran untuk menentukan ukuran
dari keseluruhan rangka bangunan, proyeksi dari lengkungan atap, tinggi
atap, dan lain sebagainya. Munculnya perubahan modul struktur ke modul
spasial dalam desain ruangan yang memposisikan kolom menurut dimensi dan
aransemen dari tatami. Bagaimana penerapan proporsi dalam bangunan rumah tinggal dan tokonoma yang menjadi standar ukuran di Jepang sampai saat ini.